Rabu, 26 November 2014

Bait: Hilanglah

19.00 Alta tiba dirumah dengan pekarangan yang penuh dengan bunga Daisy. Alta mengukir senyum dibibirnya. "Kau masih menyukai bunga itu" batinnya.
Alta berdiri didepan pintu. Menarik nafasnya dan mengetuk pintu. Terdengar suara serak dari dalam rumah. Seseorang membuka pintu. Seseorang itu menatap tajam ke arah Alta.
"Ngapain lo kesini?" Kata Asta dengan nada sinis.
"Gue mau ketemu Lae" kata Alta.
"Woi! Ngapain lo masih mau ketemu dia?!" Kata Asta dengan nada keras.
"Oke! Gue tau gue salah. Tapi gue bakalan tebus semuanya!" Kata Alta.
"Ah! Omong kosong. Pergi gak lo dari sini!!" Kata Asta mulai tak bisa mengendalikan emosinya.
"Gak! Gue mau nungguin dia!" Kata Alta bersikeras untuk tinggal.
"Lo mau mati ha!!!" Kata Asta langsung melayangkan pukulannya kewajah Alta.
"Asta!!" Terdengar suara seseorang yang tak ading.
"Lae lu masuk ke dalem!" Kata Asta.
"Lo yang masuk! Dan lo Al, sekarang jyga lo pulang! Jangan lagi ketumah gue!!!" Kata Lae seraya menatik tangan Asta dan membawanya kedalam rumah.
Alta menarik nafas panjang. Terlihat disudut bibitnya mengrluarkan darah. "Ah shit!!!" Ucapnya.
"Udah lah berenti lo gangguin hidup mereka" kata Sunny yanf sedari tadi melihat kejadian itu.
"Lo gak usah ikut campur deh! Seenggaknya gue gak pengecut kayak lo!" Kata Asta berlalu meninggalkan sunny.
Sunny terdiam mendengar perkataan Alta. Apakah ia sepengecut ini? 

Selasa, 25 November 2014

Bait: Kisah luka 'Lae'

Lae memandangi foto yang ada disudut ruangan. Foto itu mengingatkannya dengan wanita yang sangat ia cintai. I miss you, batin Lae. 
Sunny menepuk pundak Lae dan memberikan segelas kopi.
"Thank" ucap Lae seraya mengambil kopi dari tangan Sunny.
"Ngeliatin apaan lo?" Kata Sunny.
"Itu foto keren" kata Lae sambil memandangi foto.
Sunny hanya diam. Ia tau apa yang di pikirkan Lae saat ini. Kisah dengan sendu setiap harinya. Sunny ingin sekali mengukir senyum di wajah Lae. Barang hanya sebentar. Namun Sunny tau merintih sekarang. Masih dengan luka yang sama. Luka parah yang menghapus senyum diharinya.
"Astaga Lae" kata Sunny dengan muka kaget.
"Apaan sih lo" kata Lae seraya melihat apa yang di lihat Sunny.
Ah pertemuan yang sangat memuakkan kata Lae dalan hati. Ia melihat Alta dari kejauhan. Lae menarik tangan Sunny membawanya pergi dari tempat ini. Mereka berdua berjalan cepat menuju mobil yang tak jauh dari tempat itu.
Mereka masuk ke mobil. Lae menghembuskan nafas. Sunny hanya tertawa melihat tingkah Lae.
"Gile lo ya. Segitunya lo ngindarin Alta" kata Sunny sambil tertawa
"Ah udah ah. Kampret tu anak" kata Lae mencoba mengatur nafasnya.
"Oke. Lo sebenarnya sayang apa nggak sih sama tu anak?" Kata Sunny
"Gue cinta dia saat ini, dan gue benci dia saat ini" kata Lae menerawang kedepan.
"Maksud lo???" Kata Sunny menyelidik.
"Hmm, kadang ada kisah yang hanya dipertemukan untuk saling saling mengenal lalu pergi dengan bekas" Kata Lae sambil menatap Sunny.
Sunny diam mendengar perkataan Lae. Ah bodoh pikirnya kenapa ia harus menanyakan hal bodoh ini. Sunny menyalakan mobilnya. Hening kembali terjadi didalamnya.

Minggu, 23 November 2014

Bait: Lae & Sunny

Lae tiba di cafe dengan wajah datar seperti biasa. Ia ingin mencoba menghilang dari seseorang yang slama ini mengusik hidupnya. Ia duduk di kursi kayu yang biasa ia tempati bersama seseorang dulu. Ah kenangan lagi ucapnya dalam hati.
Ia memesan segelas kopi hitam. Cuaca mendung dengan kopi hitam, pas sekali desahnya sambil menyerumput kopi yang masih panas.
Seseorang datang dari balik pintu, ia melirik ke arah Lae sambil tersenyum. Masih seperti biasa. Penampilan orang itu tak berubah sejak masih SMA dulu. Hanya saja wajahnya sedikit dewasa sekarang.
"Lo udah lama? Jalanan macet" kata Sunny sambil duduk dihadapan Lae.
"Nggak,gue juga baru nyampe" kata Lae sambil tersenyum.
"Eh tumben lu ngajakin gue kesini?" Kata Sunny seraya memesan kopi pada pelayan.
"Hmm sebenarnya gue mencoba ngilang" kata Lae menangkuk dagunya.
"Alta lagi?" Kata Sunny menebak siapa yang kini telah diperbincangkan.
"Yayaya, gak usah deh lu sebutin nama tu orang. Ngeh gue" kata Lae.
"Hahaha oke oke. Eh gue punya tiket pameran foto. Lu mau dateng?" Kata Sunny seraya tersenyum.
"Hm kapan?" Kata Lae.
"Ntar malem pembukaannya. Mau kagak? Gue mau ngebantuin lo ngilang dari Alta nih" kata Sunny dengan wajah sumringah.
"Oke oke, gue ikut" kata Lae menganggukkan kepalanya.
Lae merasa benar saat ini dia mengajak Sunny. Dia sangat mengerti dengan perasaannya. Sahabat yang mengerti pikirnya dalam hati.

Bait: Cerita 'Sunny'

Hari minggu memang nikmat untuk duduk diteras rumah sambil menikmati ydara pagi. Sunny memandangi langit dan taman depan rumahnya. Ia ingat betul banyak cerita ditaman ini. Cerita tentang ia dengan seorang kawan yang tak hanya di anggapnya kawan. Mungkin orang itu sudah menjadi bagian dari hidupnya selama ini.
Namun sayangnya orang itu tak menyadari hatinya. Mungkin karena ia terlalu pengecut untuk mengungkapkannya. Lewat tulisan bodoh itu ia ucapkan, namun mungkin orang itu lupa dengan pengungkapan itu.
Ah masa bodoh pikirnya. Dia hanya berusaha untuk lebih mengenal orang itu dan mengambil hatinya mulai sekarang. Tapi entah kapan ia berani mengungkap hatinya ia tak tau.
Deringan ponsel mengusik kesunyian di pagi ini. Sunny mengambil pinselnya yang ada di atas meja.
"Ada apa?" Tanyanya singkat.
"lo ada waktu? gue pengen ngajakin minum kopi siang ntar" kata seseorang diseberang sana dengan suara ringan seperti biasanya.
"Oke, nanti gue jemput kata sunny akhirnya.
"gak usah, gue nungguin lo di kafe biasa. Jam 10 teng. Awas lo telat"" kata orang itu seraya menutup telponnya.
Sunny hanya berdeham. Tersenyum kecil melihat tingkah orang itu. 
"Ah ni anak gak ada sopannya. Cih" kata Sunny. Senyum mengembang di bibirnya.

Bait: perkara cinta

Lae mengesap kopi sambil melihat bintang yang tak kunjung timbul. Malam ini gelap. Padahal ia sangat ingin bercengkrama dengan bintang.
Lamunannya malam ini hanya tentang serpihan kenangan yang kadang masih ia ingat. Mungkin ia menjadi pengingat yang baik tentang hal itu.
Suara mobil menghancurkan lamunannya. Ia tersentak dan memandangi 2 orang turun dari mobil sambil tersenyum. 
Kaia langsung memeluk Lae seperti yang biasa ia lakukan. Lae hanya membalasnya dengan senyum lebar di bibirnya. Asta hanya tersenyum pura-pura sinis menanggapinya.
"Hei, haruskah kalian bersikap mesra begitu?" Kata Asta sambil duduk  dan mengisap rokoknya.
"Lo cemburu gitu? Idih" kata Lae sambil duduk bersama Kaia.
"Haha apaan gue cemburu" kata Asta kemudian bangkit dari kursi.
"Kemana lo?" Kata Kaia.
"Mandi. Lo mau ikut?" Kata Asta bercanda.
"Kampret lo. Sono pergi, gue pengen berduaan sama Lae" kata Kaia sambil mengedipkan matanya kearah lae.
Lae hanya tertawa melihat tingkah 2 orang dihadapannya ini. Asta hanya tersenyum sinis dan pergi masuk kedalam rumah.
"So, tumben lu main kesini. Biasanya kan lu sibuk" kata Lae sambil menyerumput kopinya.
"I miss you darling" kata Kaia dengan muka memelas.
"Ah kampret. Lo ada masalah apa lagi?" Kata Lae serius.
"Mungkin saat ini gue galau. Hahaha" kata Kaia setengah tertawa.
"Aria?" Kata Lae menebak.
"That right! Ah gue pusing sama perasaan gue" kata Kaia menghela napas.
"Gue denger tu anak bakalan kawin" kata Lae.
"Iye, gue dapat undangan dari dia" 
"Aria ngasih langsung?" Kata Lae kaget.
"Menurut lo?" Kata Kaia memicingkan matanya.
"Gila anjir tu anak. Pengen gue gampar tau gak" kata Lae mulai kesal.
"Yaelah. Udahlah. Biarin aja. Gue juga udah gak lagi sama tu anak. Angin lalu lah. Percuma juga" kata Kaia akhirnya.
"Iya iya. Sok tegar lu" kata Lae.
Kaia hanya mengangkat pundaknya. Ia hanya bisa diam. Mungkin ia pura-pura tegar dihadapan Lae.
Lae hanya bisa diam dan tak ingin berkomentar banyak. Dia hanya takut Kaia akan semakin patah hati karena ucapan dan sikapnya. Ia hanya bisa mendengarkan cerita Kaia. Menjadi endengar yang baik untuk Kaia. Sebenarnya cinta seperti ini yang paling ia takutkan sampai sekarang. Sehingga ia takut bermain rasa. Mungkin ia akan lebih merasakan nyaman jika hidupnya ia habiskan untuk mencari uang. Terkadang ia malah membuang hal yang berbau cinta. Seakan takut bergulat dengan cinta. Lae menyingkirkan semua rasa. Entah sampai kapan.

Sabtu, 22 November 2014

Bait : Seluruh hidup 'Asta'


"Kai gue nebeng ya. Mobil gue di pakai sama Lae" kata Asta seraya berlari menghampiri Kaia.
"Oke. Nih bawa" kata Kaia sambil melempar kunci mobil.
Mereka berdua masuk ke mobil. Jalanan Jakarta malam ini buruk. Macet.
Diantara hiruk pikuk suara klakson mobil Kaia dan Asta masih berbicara pada kesunyian.
"Eh Ta, Lae udah pulanh kagak jam segini?" Kata Kaia membuka suara.
"Hm biasanya sih udah. Lu mau mampir?" Kata Asta melirik kearah Kaia.
"Iya, tiba-tiba gue kangen sama tu anak. Udah lama gak ketemu bahkan  jalan sama tu anak" kata Kaia seraya senyum kecil terukir dibibirnya.
"Ide bagus tu lo ngajakin tu anak jalan. Gue mumet liat dia setiap hari berkutat sama laptop. Kayak pacaran sama laptop aja tu anak" kata Asta kemudian.
"Hahaha tu anak gak berubah. Gue suka sama sikap dia yang ambisius" kata Kaia seraya menerawang kedepan.
"That right! Sejak kejadian itu dia jadi menutup diri Kai. Gue kadang kasian sama tu anak. Luarnya aja tenang. Tapi hatinya gak gitu" kata Asta.
"Ya, dan itu alasan lo buat tinggal bareng dia kan." Kata Kaia seraya melirik Asta.
"Hmmm.. lo bener. Gue berusaha bikin hidup tu anak gak kayak neraka lagi. Ya walaupun gak sepenuhnya bisa. Gue ngerasa bersalah banget ngenalin dia sama bajingan itu" kata Asta dengan nada kesal.
"Hei udahlah. Jangan balik ke masalalu" kata Kaia sambil mengusap pundak Asta.
Asta hanya tersenyum kearah Kaia. Dia mencoba tenang. Namun rasa bersalah terus menghantui Asta pada Lae. Hidup Lae mungkin tak akan sedingin ini kalau tidak karena tindakan bodohnya.
Asta hanya bisa memperbaiki sedikit dari kesalahannya dulu. Dia berjanji pada dirinya tak akan bertindak bodoh lagi. Hidupnya saat ini untuk Lae.

Bait: Perihal perkara

Malam ini hujan turun dengan deras. Alta duduk diruang tamu sambil menikmati teh. Cuaca seperti ini memang sangat cocok dihadapkan dengan segelas teh hangat. Alta mengambil album foto yang sudah mulai usang. Senyum kecil terukir di bibirnya ketika melihat foto seseorang itu. Ia ingat betul perhatian yang seseorang itu berikan kepadanya dulu. Namun dia melakukan kesalahan saat itu. Ia merasa tidak puas dan pergi meninggalkan seseorang itu begitu saja.
Rasa bersalah tak henti mengusik hidupnya hingga sekarang. Ia merasa dia adalah orang paling bodoh bahkan kejam karena membuat seseorang itu menderita. Pikiran Alta semakin kalut ketika ia berkaca pada masalalu ketika ia melihat orang itu berada dihadapannya, terbaring lemah dirumah sakit. 
Semua orang menyalahkannya. Termasuk Ibunya. Ya, ia tak bisa menyangkal tuduhan itu.
Semua tuduhan itu mengarah padanya. Dan dia adalah sosok yang patut untuk disalahkan. Ia ingat betul ketika ia mendapati orang itu terbaring lemah dikamarnya dengan botol minuman yang tumpah disampingnya.
Ia tak pernah berpikir orang itu akan frustasi hingga menyakiti dirinya sendiri.
Alta seakan mengutuk dirinya sendiri karena kesalahan itu. Ia ingin kabur dari kenyataan itu. Namun percuma, rasa bersalah terus menghantuinya. 
Alta memejamkan matanya mencoba untuk tenang walau pikirannya sangat kalut saat ini. 
"Al, sudahlah. Jangan merasa bersalah seperti ini teru" kata wanita duduk disamping Alta.
"Ma, ini semua salah Alta. Dan gimana Alta bisa tenang?" Kata Alta kemudian.
"Oke, kalo kamu ngerasa bersalah. Tebus kesalahan kamu iti. Jangan kalut seperti ini" kata wanita itu sambil memijati kepala anak semata wayangnya itu.
"Aku udah berusaha Ma, udah 3 tahun aku berusaha menebusnya. Tapi apa? Dia bahkan tak ingin melihatku" kata Alta.
"Sabar, eh kamu udah sampein pesan mama kan?" Kata wanita itu seraya bangkit dari kursi.
"Udah ma, kita liatin aja besok"
"Yaudah. Mama kekamar dulu. Kalo kamu laper, ada puding dikulkas." Kata wanita itu sambil peegi meninggalkan Alta.
Alta menyandarkan kepalanya dikursi. Perasaan bersalah ini terus sajamembuatnya gila. Entah sampai kapan batinnya.

Jumat, 21 November 2014

Bait; mati rasa 'Kaia'

Tatapan penuh duka terlihat diwajah seseorang yang sedari tadi menyibukkan dirinya dengan kertas-kertas di meja kerjanya. Asta melirik kearah orang disampingnya. Ia merasakan perasaan yang tak bisa ia deskripsikan jika berada didekat orang itu. Tatapannya yang sayu, senyum kecil yang hanya sesekali dia ukir, bahkan sendu yang lebih sering dia rasakan. Asta tau itu.
"Jangan ngeliatin gue mulu deh. Gak capek tuh mata" terdengar suara lembut dari Kaia yang melirik sedikit ke arah Asta.
"You okey?" Kata Asta penuh dengan perasaan khawatir.
"Gue baik-baik aja Ta" Kaia seraya menghentikan pekerjaannya kemudian memandang Asta.
"Tu anak ngasih lo undangan itu?" Asta mulai penasaran.
"Yap. Dan mungkin gue bakalan dateng keacara pernikahan itu. Lo mau nemenin gue?" Kaia bangkit menghampiri Asta.
"Gila lo. Gue tau perasaan lo bego" Kata Asta sambil menyerahkan beberapa dokumen ke Kaia.
"Hei, lo gak sepenuhnya tau perasaan gue. Gue tau keputusan apa yang harus gue ambil"
"Dan lo ngorbanin perasaan lo?" Asta mulai menaikkan suaranya.
Kaia kembali ke meja kerjanya. Ia hanya doam menanggapi perkataan Asta. Berpikir tentang hati bahkan perasaan. Ia terlalu lelah dengan cinta yang akhirnya tak sesuai harapan. Hari-harinya disibukkan dengan frustasi yang mengharuskannya berdiam pada gelap. 
Ia tau sendu takkan mengubah keadaan. Bahkan ia telah mati rasa karnanya.

Bait; Hiruk pikuk hujan

Langit berubah mendung siang ini. Lae memandangi jendela disamping meja kerjanya. Hujan turun sebentar lagi ucapnya dalam hati. Hari-hari ini langit selalu mendung mengingatkannya pada kenangan 6 tahun lalu. Sebuah bait puisi terselip di buku matematikanya. Bait puisi yang membuat Lae berpikir keras mencari tau artinya.
"Kau asing bagiku, namun aku begitu mengenalmu" kalimat yang menjadi teka-teki yang sampai saat ini belum ia pecahkan.
Lae merebahkan kepalanya ke meja kerjanya. Memejamkan matanya barang sebentar.
Deringan ponsel menghantuinya tiba-tiba. Lae menoleh kearah benda itu. Meliriknya dan melihat siapa, kemudian ia kembali merebahkan kepalanya.
"Lo gak jawab tu telpon? Berisik tau." Kata Sunny yang sedari tadi sibuk dengan laptopnya.
"Biarin aja. Mumet gue" Lae berdeham sedikit.
"Alta?" Sunny langsung menebak siapa yang menelpon Lae saat itu.
"That right! And i dont care" Lae bangkit dan mematikan ponselnya.
Sunny hanya memandangi rekan kerjanya itu menyeduh kopi kesukaannya.
Lae kembali menatap kearah jendela. Kali ini perkiraannya benar. Hujan turun dengan deras. Dia mengusap tubuhnya.udara sangat menusuk kulit hingga tulang.
"Tuh jaket gue. Pake aja kalo lu kedinginan" kata Sunny seketika.
Lae hanya menoleh kearah Sunny sebentat. Dia masih ingin menikmati udara sedingin ini. 
"Hai sayang" suara serak itu terdengar dari balik pintu.
Lae menoleh dan perkiraannya benar Alta datang. Senyum terukir diwajah Alta namun tidak dengan Lae. Pandangannya tetap saja datar sejak perpisahan dulu dimasa ia sedang frustasi.
"Lo ngapain kesini?" Kata Lae sambil kembali ke meja kerjanya.
"Haha lo gak seneng gue kesini. Gue kangen sama lo." Alta langsung duduk dihadapan Lae.
Lae benci kedekatan ini. Alta adalah orang yang paling ingin dihindarinya. Namun ia tetap saja mengusik hidupnya. Lae hanya merasa ia sudah lelah berada dalam sendu.
"Lo pulang deh. Gue lagi sibuk sama kerjaan gue" kata Lea tanpa menoleh sedikitpun kearah Alta.
"Oh dear. Sampai kapan sih lu bakalan ngindarin gue gini?" Alta hanya menghela nafasnya.
Lae hanya menatap datar kearah Alta. Matanya seakan tak bisa diartikan apa yang ia pikirkan.
Melihat Lae yang dingin Alta tersenyum seakan tau Lea mengusirnya secara tak langsung.
"Oke gue pergi. Gue bakalan jemput lo besok, nyokap ngajakin lu makan malem." Alta bangkit dari kursi dan pergi meninggalkan Lae tanpa mendengar kalimat yang keluar dari mulut Lae.
Sunny menatap kearah Lae. Lae asik dengan laptopnya. Ia tak ingin berkomentar. Komentarnya hanya akan memperburuk suasana. Dia meneguk  kopi yang sedari tadi dingin dan memgisap seputing rokok. Ah suasana  hiruk pikuk hujan pikir keduanya.

Bait; langit sendu 'Lae'

Malam semakin larut, hanya suara jangkrik yang terdengar saat ini. Lae masih dengan kehidupan malamnya. Berkutat dengan layar laptop menyelesaikan resume yang sudah mengusik kehidupannya belakangan ini.
Wajahnya sedikit pucat dengan kantung mata yang kian menjadi. Dia menarik nafas panjang. Ah tangannya sedikit kaku. Dia beranjak dari kursi. Matanya melirik kearah lemari kaca penuh foto yang membuatnya berkaca pada masa lalu. Dia melihat wanita yang dia cintai bahkan dijadikannya dunianya. Cinta yang hanya dia rasa. 
Dia berkaca pada masalalu yang penuh sendu. Tangisan, lebam dipipi bahkan dihiasi makian. Ah dia benci laki-laki dengan wajah keras yang tersenyum saat merangkulnya.
"Ah aku muak!" Setetes air mata turun dipipinya.
"Ng- lae lu masih hidup jam segini?" Terdengar suara dari balik pintu kamar.
"Lu baru balik? Gile lo ya" kata lae seraya membuka pintu.
"Lembur, bos gue lagi diluar kota jadi gue yang ngerjain tugas dia selama dia pergi" kata asta sambil mengambil seputing rokok.
"Tuh makanan dikulkas lu panasin deh. Gue mau nerusin kerjaan gue" kata lae kembali menuju ke kamarnya.
Asta hanya menggangguk mengiyakan. Dia tau lae sedang gila-gilanya berada di depan laptop. 
Lae kembali duduk dikursi. Memandangi sejenak layar yang tak henti dihadapinya setiap malam. Matanya sedikit melirik kearah lemari kaca itu. Ia ingat betul kejadian 6 tahun yang lalu saat pipinya lebam membela wanita itu. Ia ingat betul saat itu sampai-aampai ia malu datang ke sekolah karena bengkak dipinya.
Kadang mencintai tak seperti ini kan? Wanita itu bilang bahwa cinta itu bahagia. Namun kali ini cinta uang dia lihat adalah cinta yang penuh sendu. Bahkan lebih pahit dari kopi hitam yang dibuatkan wanita itu untuk laki-laki itu.
Ia takut merasakan cinta jika semenderita ini.
"Tenanglah bu, sebentar lagi. Tunggu aku" sendu dimalam ini.